10 Prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG)



10 Prinsip Ajaran Sosial Gereja (ASG)

Gereja Katolik memiliki harta karun berupa Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang amat kaya dan relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Secara tradisional ASG diawali dengan ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII pada tahun 1891. Selanjutnya Bapa Suci menulis ensiklik yang secara khusus merespon situasi hidup sosia-ekonomi-politik umat, dan secara umum juga ditujukan bagi dunia. Berikut ini 10 Prinsip ASG yang saya sarikan dari kerangka kerja yang disusun William Byron (America,1998) dan Kenneth Himes (2001).

1. Prinsip Menghormati Martabat Manusia ( Respect for Human Dignity )
Setiap manusia diciptakan seturut citra Allah dan ditebus oleh Yesus Kristus. Konsekuensinya, setiap pribadi dihormati semata-mata karena merupakan pribadi yang seharusnya dihormati lantaran ciptaan Allah, bukan lantaran cacat, miskin, tua, malang, atau ras tertentu.

2. Prinsip Menghormati Kehidupan Manusia ( Respect for Human Life)
Implikasi dari prinsip pertama adalah setiap pribadi sejak dikandung hingga mati memiliki martabat dan hak hidup sesuai martabatnya sebagai ciptaan Allah. Tradisi Gereja menempatkan kekudusan hidup manusia sebagai bagian dari pandangan moral terkait masyarakat yang baik dan adil.

3. Prinsip Asosiasi/Hidup Sosial ( Association)
Manusia bukan hanya kudus tetapi juga sosial. Kita dilahirkan dalam citra dan rupa Allah, yang secara esensi adalah komunitas antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Ada tiga pribadi dalam Allah, bukan hanya satu Allah. Pada jantung karagaman pribadi Allahlah kita menemukan saripati kehidupan, bukan pemisahan. Lugasnya, kita mengalami kepenuhan sebagai pribadi ketika berelasi dengan sesama, bukan justru terisolasi.

4. Prinsip Partisipasi ( Participation)
Tiap orang punya hak, termasuk kewajiban untuk berpartisipasi dalam membentuk masyarakat yang adil, dan bersama yang lain mengupayakan kebaikan bersama, terutama bagi yang miskin papa.

5. Prinsip Keberpihakan pada Yang Miskin Papa ( Preferential Option for the Poor and Vulnerable)
Dalam masyarakat yang terbelah antara kaya dan miskin, tradisi Katolik merujuk kembali kisah penghakiman terakhir yang memerintahkan kita untuk memprioritaskan kebutuhan yang miskin papa. Inilah yang merupakan intisari praksis iman Kristen sejati.

6. Prinsip Solidaritas ( Solidarity)
Kita adalah penjaga bagi saudara-saudari kita. Praktik dasariah solidaritas adalah mengasihi tetangga kita, sanak saudara. Sebagaimana disampaikan Paus JP II, bahwa solidaritas bukanlah belarasa karena ketidakberuntungan atau kemalangan belaka, melainkan upaya sungguh-sungguh untuk berkomitmen pada sesama demi mencapai kebaikan bersama, sebagai bentuk tanggung jawab kita.

7. Prinsip Merawat Ciptaan ( Stewardship)
Kita menghormati Pencipta melalui komitmen pada ciptaan. Kita bertanggung jawab untuk merawat kebaikan dunia sebagai penjaga dan wali, bukan sekadar sebagai konsumen. Kita semua diundang untuk berproses dalam belajar menjadi penjaga ciptaan, menghargai ritme alam dan hidup agar lebih lestari, melalui dialog yang saling hormat dan meninggalkan jejak ekologis dan spiritual yang terang bagi generasi mendatang.

8. Prinsip Subsidiaritas ( Subsidiarity)
Istilah subsidiaritas berasal dari kata Latin ‘subsidium’ yang bermakna membantu atau mendukung. Prinsip ini dimaknai sebagai hak untuk membantu atau mendukung sesuai takaran yang dibutuhkan. Tidak terlampau banyak, pula tidak terlalu sedikit. Dalam politik dapat dimaknai sebagai “tidak lebih besar dari yang seharusnya (agar tak mematikan inisiatif), dan tidak lebih kecil dari yang sepantasnya (untuk tidak membiarkan keputusasaan dan frustrasi).

9. Prinsip Kesetaraan Manusia ( Human Equality)
Seluruh pribadi ciptaan wajib dihormati dan bermartabat karena diciptakan sebagai citra Allah. Konsekuensinya, secara radikal semua manusia setara. Menurut George Cladis, ‘kompetisi merupakan sesuatu yang asing di hadapan Tuhan’, atau dengan kata lain, secara kodrati manusia adalah makluk yang saling bekerja sama berdasarkan prinsip saling menghormati.

10. Prinsip Kebaikan Bersama ( Common Good)
Komunitas akan sehat ketika semua orang, bukan hanya satu atau segelintir, bertumbuh. Mengutip Dostoevski,”Tingkat peradaban masyarakat dapat dinilai dengan memasuki penjara”.  Itulah wajah dari yang terlemah. Tiap kelompok sosial harus memperhitungkan kebutuhan dan aspirasi seluruh anggota kelompok dan mengupayaka kesejahteraan seluruh keluarga. Bukan sekadar prinsip utilitarian ‘manfaat terbesar bagi jumlah terbanyak’, melainkan manfaat dan kebaikan terbesar bagi semua.

Salam hormat,

Yustinus Prastowo

Post a Comment

أحدث أقدم