Latest News

Tuesday, December 15, 2020

MENGENAL AGAMA JAWA


MENGENAL AGAMA JAWA
Agama Jawa, berdasarkan disertasi Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M. Hum. yang sudah diuji dihadapan para penguji secara akademis, “Agama Jawa” itu ada, nyata, dan eksis berkesinambungan hingga sekarang. Asal dan keberadaannya jauh sebelum era Hindu-Buddha masuk ke Nusantara, yang artinya sangat jauh sekali sebelum era Islam masuk ke Nusantara.
.
Keaslian Jawa yang senantiasa dipertahankan, menyebabkan lahirnya istilah-istilah : Hindu Jawa, Islam Jawa, Cina Jawa, Buddha Jawa, dst nya. Itu sebenarnya adalah indikasi bahwa, di Jawa ini sudah ada pranata moralitas dan spiritual tersendiri (Agama Jawa), yang unik dan khas, namun seiring berjalannya waktu dimana pengaruh Agama-Agama dari luar Nusantara masuk kedalam Nusantara dan berbaur dengan rukun dan damai, terjadilah sinkretisme diantara keduanya. Dan berdasar penelitian memang demikian adanya, bahwa di Jawa ini jauh sebelum Hindu-Buddha dan Islam masuk, telah ada dan hidup secara nyata apa yang disebut sebagai “Agama Jawa” itu.
.
Hakikat pencarian “Urip” dalam Agama Jawa, adalah menemukan “Kayu Gung Susuhing Angin”. Manakala mampu menemukan “Kayu Gung Susuhing Angin” itu, kelak akan dengan mudah dan selamat menuju “Sangkan Paraning Dumadi”. Suasana batin akan semakin plong, bolong, dan suwung, pada saat fenomena ajaib itu dapat diraih.
.
Karakteristik agama selalu berpikir pada hal-hal ghaib. Fakta-fakta keagamaan Jawa, yang bergerak pada hal-hal Ghaib cukup banyak. Berbagai ritual di Gunung Lawu, Gunung Kemukus, Gunung Sambil, Gunung Kawi, dan lain-lain adalah contoh praktik keagamaan Jawa. Contoh ini mengindikasikan hadirnya kepercayaan religius orang Jawa.
Konteks kehidupan agama Jawa itu kompleks. Ada yang mengasumsikan, agama Jawa adalah Klenik. Kata klenik sendiri berasal dari kata “klenikan”, artinya berkomunikasi dengan berbisik-bisik. Klenik tersebut berupa kata-kata sakral dan mantra, untuk membangun aroma spiritualitas. Pembicaraan dalam ranah yang sepi, kondisi “Suket godhong ora kena krungu” , itulah ciri klenik. Yang dicari pergulatan klenik adalah inti spiritualitas Jawa.
.
Ekspresi Agama Jawa jelas bervariasi. Tidak ada aturan baku dalam menjalankan agama Jawa. Ekspresi itu sebuah fenomena, yang kadang-kadang sulit dijangkau oleh nalar sehat. Fenomena religius Jawa dapat dibagi menjadi dua kategori : 

(1). KEPERCAYAAN
(2). RITUS

Agama Jawa Bukan Buddhisme
.
Banyak yang beranggapan Agama Jawa adalah penyebutan atau nama lain dari Buddhisme yang berkembang di tanah Jawa. Tapi anggapan ini tidak benar. Bahwa pernah terjadi sinkretisme diantara keduanya di jaman dulu kala, itu memang benar. Tetapi Agama Jawa berbeda dengan Buddhisme.
.
Buddhisne menyatakan diri sebagai moralitas tanpa Tuhan dan atheisme tanpa hakikat. Memang dalam beberapa vihara Buddhisme, ada yang memandang Sang Buddha sebagai Tuhan, dia memiliki candi sendiri dan sebagai objek pemujaan, tapi cara membukanya sangat sederhana, yakni hanya dengan mempersembahkan sesaji berupa bunga-bunga dan memuja barang-barang sakral atau patung-patung sakral. Ini adalah sekedar bentuk pemujaan yang bersifat “mengingat”. Penuhanan Buddha ini hanya khas bagi apa yang dinamakan Buddhisme Utara. Sedangkan bagi Buddhisme Selatan memandang Sang Buddha adalah manusia yang memiliki kejutan luar biasa melebihi kekuatan manusia biasa.
.
Berbeda dengan Buddhisme tersebut, Agama Jawa, “tetap meyakini adanya Tuhan”, ialah IA yang “Tan Kena Kinaya Ngapa”. Agama Jawa selalu berkiblat pada Tuhan sebagai sumber pemancar hidup. Meskipun demikian, Agama Jawa juga bukanlah Islam bukan pula Hindu. Ketika dijabarkan dengan mendetail, asalkan kita objektif maka kita akan menemukan bahwa Agama Jawa bukanlah produk turunan dari Islam maupun Hindu.
.
“Teosofi” adalah paham yang dianut oleh agama Jawa. Theos berarti Tuhan dan Sofia berarti Cinta. Teosofi adalah ilmu Ketuhanan yang cinta Kebijaksanaan (kesempurnaan). “Ngudi kasampurnaning hurip nggayuh kamardhikan”.
.
Teosofi Jawa didasarkan pada paham “monistik” dan “panteistik”. Monistik adalah pandangan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu berada, memancar dalam diri manusia dan alam semesta. Sementara Panteistik artinya, seluruh alam semesta menyatu ke dalam Tuhan. Monistik dan Panteistik selalu berjalan seiring dalam Agama Jawa. Keduanya diyakini selalu ada, tidak dapat dipisahkan.
.
Pemujaan roh (spirit cults), merupakan perwujudan spiritualisme asli orang Jawa. Pemujaan dilakukan pada ruang yang dipandang sakral (wingit), misalkan di bawah pohon besar, di dekat mata air pegunungan, di makam leluhur, di sendang atau sungai yang pernah menjadi petilasan bertapa, dan sebagainya. Pemujaan roh dan benda-benda itu muncul, karena sebelum Hinduisme datang, orang Jawa telah hidup teratur dengan animisme-dinamisme sebagai akar religiusitasnya dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka. Seperti misalnya, selamatan, kepatuhan terhadap numerologi kalender Jawa, dan keyakinan terhadap sedulur papat limo pancer (Sebuah konsep tua di Jawa tentang makhluk suci penjaga diri manusia). Akar Agama Jawa itu yang menyebabkan hadirnya ruang-ruang spiritual semakin bertambah.
.
Pada dasarnya, ruang spiritual yang sering dihadiri Penghayat guna mengaktualisasikan laku budi luhur dan budi pekerti, terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu : (1) Petilasan, (2) makam, (3) gunung, (4) air.
.
Manembah Dan Nguja Rasa

“Manembah” berasal dari kata “sembah” yang berarti menghormati dan memuja. “Manembah” sebenarnya sebuah upaya “nguja rasa”, artinya membebaskan rasa dari kungkungan raga. “Nguja Rasa” akan melahirkan kebebasan rasa, sehingga suasana semakin khusyuk dapat merasuk ke semak-semak spiritual. Menurut pemahaman Kejawen, maka manembah adalah menghormat dan memuja hanya kepada “TUHAN” (Ingsun). Jadi “tataning manembah” atau tata-cara menyembah adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan atau kelompok untuk berkomunikasi dengan “Ingsun”. Orang yang senantiasa Manembah, hidupnya akan tenang, tidak menginginkan hal-hal yang bukan jatahnya (ngangsa).
.
Biasanya Manembah ada yang diwujudkan dalam bentuk semedi, ritual, dan mantra. Manembah merupakan upaya pembersihan diri baik dari sisi jasmani atau badaniah maupun dari sisi rohani atau batiniah. Orang-orang Jawa selalu menyebut “Manembah mring Hyang Maha Agung” sebagai kewajiban luhur. Manembah dilakukan dalam bentuk pemujaan, berbakti, sembah, dan “manungku puja”.
.
“Manembah” merupakan jalan hidup agar orang Jawa benar-benar selamat menuju alam “Kasidan Jati”. Hakikat “Kasidan Jati” adalah suasana spiritualitas Jawa yang sangat amat misterius. Hidup di dunia yang dicari dan yang ingin diperoleh menurut orang Jawa antara lain adalah: “anggayuh kautamaning urip, rahayu slamet ana ing donya sak akherate kanggo pribadine dhewe lan kanggo sakkeluargane sakpiturune”.
.
Mengenai “Kasidan Jati” atau mati yang sebenar-benarnya, dalam hal ini bila seseorang telah memahami dan meyakini “Sangkan Paraning Dumadi” dan melaksanakan dengan benar dan baik tentang “Manunggaling Kawula lan Gusti”. Maka pada saat dipanggil kembali oleh Sang Pencipta, akan menghadap pada Tuhan Yang Maha Esa, dengan “Kasidan Jati” yang sebenar-benarnya mati yang terpuji, kematian yang sejati.
.
Semua orang bisa mengalami “Kasidan Jati”, yaitu apabila selama hidupnya manusia tidak melanggar “tata paugeraning urip”, selalu “tepa selira” atau tidak memaksakan kehendak sendiri dan atau tidak suka memaksakan diri tetapi hidup apa adanya (sak madya), tidak mengumbar hawa nafsu angkara murka, bisa dan selalu mengendalikan diri, berani melakukan laku batin atau tirakat, kuat doanya, mau dan senang beramal, bisa hidup bersama dengan tetangganya yang berbeda-beda.
.
Demikianlah sekilas ulasan mengenai “Agama Jawa”, Agama tanpa Kitab tercetak dan tertulis. “Anane namung Kitab tanpa Tulis, Kitabe Alam Kasunyatan kang gumelar, Agama tanpa Nabi, Nabine yo dhiri sejatimu dewe.”

.
#Dikutip dari berbagai sumber
#Penghayat kepercayaan kepada TYME
#Rahayu sagung dumadi saindengin buana
#Rahayu Rahayu Rahayu  🙏🙏

Wednesday, December 9, 2020

Kisah Gus Dur Ganti Nama Irian Jadi Papua, Ini Alasan di Baliknya

Kisah Gus Dur Ganti Nama Irian Jadi Papua, Ini Alasan di Baliknya

Peran Presiden ke-empat Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tak kuasa dilepaskan dalam memberikan spirit kemanusiaan di Tanah Papua agar terbebas dari diskriminasi, marjinalisasi dan krisis di segala bidang.

Seperti dilansir dari NU Online, Senin (19/8/2019), seorang santri Gus Dur asal Kudus, Nuruddin Hidayat mengatakan, pada 30 Desember 1999 atau 2 bulan 10 hari setelah dilantik menjadi presiden, Gus Dur berkunjung ke Papua (saat itu Irian Jaya).

Lawatan Gus Dur bukan tanpa alasan. Ada dua tujuan dalam kunjungan tersebut. Pertama: berdialog dengan berbagai elemen di Papua. Kedua: melihat matahari terbit pertama milenium ke-dua pada 1 Januari 2000.

Persamuhan dengan berbagai elemen digelar pada 30 Desember 1999 jam 20.00 waktu setempat

Lokasinya di gedung pertemuan Gubernuran di Jayapura. Meski dengan cara perwakilan, banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat.

Gus Dur mempersilakan mereka berbicara terlebih dulu. Mereka angkat suara dari yang sangat keras dengan tuntutan merdeka dan tidak mempercayai lagi pemerintah Indonesia hingga yang memuji tapi dengan berbagai tuntutan.

Kemudian, Gus Dur merespons mereka. Banyak hal ditanggapi. Tapi yang penting ini, Gus Dur mengatakan: "Saya akan mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, alasannya?”

Gus Dur lantas mengatakan, "pertama, nama Irian itu jelek." "Kata itu berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang. Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini, menemukan masyarakatnya masih telanjang, sehingga disebut Irian."

Lalu, Gus Dur melanjutkan, "kedua, dalam tradisi orang Jawa kalau memiliki anak sakit-sakitan, sang anak akan diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet, tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua."

Masih mengutip dari NU Online, seorang antropolog bahasa Melanesia mencari asal-usul kata Irian yang diceritakan Gus Dur, tapi tidak pernah menemukannya (kalau tidak ketemu, tidak berarti tidak ada kan? Ini benar-benar cara Gus Dur memecahkan masalah rumit dan besar seperti masalah Papua dengan humor).

Sohibul riwayah, Ahmad Suaedy menduga mengapa Gus Dur menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa? Gus Dur mencoba 'menenangkan' hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.

Selain hormat dengan teladan, prinsip, dan keberanian Gus Dur, Manuel Kaisiepo (2017) memiliki cerita.

Menteri Negara Percepatan Kawasan Timur Indonesia era Presiden Megawati itu mengisahkan, ketika Kongres Rakyat Papua akan diselenggarakan, Gus Dur menyetujui kongres tersebut dilaksanakan.

Ketika kongres itu mau diadakan, semua orang protes. Itu separatis. Tetapi presiden (Gus Dur) menyetujui kongres itu diadakan.

Bahkan, Gus Dur juga akan membantu terselenggaranya acara kongres tersebut, yaitu dengan memberikan bantuan pendanaan. Ini langkah Gus Dur yang dianggapnya nyeleneh, lain daripada yang lain.

Saat Gus Dur menemui kelompok pro-kemerdekaan tersebut, banyak orang yang protes dan mengira bahwa Gus Dur menyetujui keberadaan mereka.

Gus Dur menegaskan bahwa semua yang ada di Papua adalah saudara-saudara dirinya, saudara sebangsa dan sesama manusia. Hal ini dilakukan Gus Dur tak lain untuk membangun kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah.
NU Online/Fathoni
https://www.suara.com/news/2019/08/19/143710/kisah-gus-dur-ganti-nama-irian-jadi-papua-ini-alasan-di-baliknya?page=2