Latest News

Thursday, December 6, 2018

Negara Meritokrasi dalam Filsafat Politik Plato


Kalau sebuah negara (meritokrasi?) yang bisa berkuasa atau jadi pejabat hanya orang-orang yang punya kekayaan dan duit, saya pastikan yang tidak punya duit hanya jadi pesuruh atau kuli.
Kenapa banyak sekali korupsi akhir-akhir ini yang terungkap? Ada yang mengatakan karena biaya politik mahal, jadi harus mengembalikan modal atau mengumpulkan modal untuk berkompetisi selanjutnya. Kalau dipikir-pikir, pendapat orang-orang ini benar juga. Dan ada orang desa yang polos bilang, “uang itu enak.”
Di sini saya ingin membicarakan pikiran politik Plato. Mari berfilsafat. Kadang dalam sehari-hari kita sering mendengar, kebaikan itu apa sih? Terus yang baik harus gimana? Kalau semua pertanyaan dasar ini sudah terjawab, baru ke hal yang lebih: “negara yang baik itu harus seperti apa sih?”
Nah, di sini akan banyak kegaduhan. Orang-orang yang sering menenteng bendera palu arit akan lantang berucap, negara yang baik ya komunisme, semua orang bisa menikmati kekayaan negara dan dibagi sama rata sesuai kebutuhannya. Yang punya pikiran agak liberal dan agak kapitalis bilang, “halah, gombal. Itu akan membuat orang malas berkompetisi, jadi mirip ternak.”
Di ranah inilah sering terjadi perang cocot (dalam istilah Jawa), adu argumen, bahkan adu sistem persenjataan mutakhir seperti kelakuan blok Barat dan Timur waktu perang dingin. Bahkan sampai jutaan yang mati.
Yang paling parah itu ketika sebuah negara cuma dikuasai elite-elite, entah elite feodal, orang-orang kaya tapi tidak punya proyeksi masyarakat ke depan, elite yang tidak punya cita-cita kerakyatan, atay elite yang terlalu banyak rapat serta minim kerja untuk rakyat. Dan lebih berbahaya lagi kalau hanya sekadar rebutan kekuasaan.
Gaduh, tapi tidak ada dampak lebih baik. Lalu terjadi perdebatan di ranah publik tentang sistem negara meritokrasi.
Meritokrasi adalah sebuah sistem yang menekankan kepada kepantasan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu dalam sebuah organisasi. Kepantasan diartikan sebagai kemampuan per se. Tanpa memandang latar belakang etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial mereka.
Mungkin susah ya menerapkan sistem meritokrasi di sini…. Plato pun begitu, dulu sering curhat di buku dan surat-suratnya setelah melihat demokrasi yang begitu gaduh.
Plato sih enak, zamannya belum ada hoax atau konspirasi global. Sekarang gegernya nggak selesai-selesai dan yang digegerkan itu nggak mutu.
Dalam buku Politeia (Republic), buku ke 5, 473d, Plato mengatakan:
Hanya jika para filosof menjadi raja dalam negara, atau jika mereka yang kita sebut raja dan penguasa menjadi filsuf, dan jika kekuasaan dan filsafat menjadi satu di tangan yang sama, maka barulah negara dan juga kemanusiaan dapat terbebas dari segala kekacauan.
Tulisan plato ini begitu sombong, pemimpin harus raja yang filosof, kala nggak raja yang tahu filsafat akan kacau. Mungkin kita perlu menganalisa konteks pemikiran plato ini.
Filsafat zaman Yunani Kuno itu bukan seperti sekarang. Filsafat zaman dulu itu mencakup semua ilmu, baik ilmu alam, ilmu sosial, politik, logika, musik, matematika, dan lainnya.
Sekarang beda, filsafat sama sains sudah pisah. Seorang raja filosof, menurut Plato, harus tahu politik sekaligus seni, moral, hukum. Tanpa itu, dipastikan akan kurang pas dalam membuat kebijakan.
Polis Athena, tempat Plato hidup itu pemerintahannya terbagi dalam tiga lembaga, yaitu assembly, konsul, dan mahkamah. Ketiga lembaga ini mirip legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tapi, ketiga lembaga ini dipegang langsung oleh rakyat.
Bisa dibayangkan gaduhnya seperti apa kalau lagi rapat. Mirip Openbaar Vegadering atau rapat raksasanya organisasi politik zaman Hindia Belanda.
Jadi, di Polis Athena, seorang petani bisa ikut menentukan hukum. Menurut mbah Plato, ini kurang efektif karena semua orang bisa ikut-ikutan meski pengetahuan minim. Ngomong adil atau tidak adil, bagus atau tidak bagus, jadi kurang jelas, karena terlalu gaduh. Makanya Plato curhat seperti  dalam politeia 472c-d:
Apa yang hendak kita cari adalah suatu pola ideal tentang apakah keadilan dan ketidakadilan itu pada dirinya dan menggambarkan seandainya memang ada, seperti apakah orang yang dengan sempurna dikatakan sebagai adil dan seperti apakah orang yang tidak adil itu.
Dengan mengarahkan pandangan kita pada suatu model, maka kita dapat melihat bahwa semakin kita mendekati kesempurnaan itu, maka kita juga mengambil bagian yang semakin besar darinya. Bukankah tujuan kita itu untuk membuktikan bahwa dalam praktiknya model ideal itu dapat diwujudkan?”
Jadi, dasar yang dipakai Plato itu keahlian. Bukan karena dia kaya raya, bos langsung bisa terjun politik. Bukan karena dia keturunan ningrat, bukan karena dia ini atau itu, tapi negarawan.
Apa itu negara yang baik? Menurut Plato, seorang bupati, misalnya, ya dia harus negarawan, tahu apa yang dibutuhkan masyarakat. Seorang pemimpin handal untuk dapet devisa, ya nggak dengan mengirim banyak TKI ke luar. tapi seperti Cina.

https://nalarpolitik.com/negara-meritokrasi-dalam-filsafat-politik-plato/

No comments:

Post a Comment