Latest News

Wednesday, April 10, 2024

APAKAH VISI KEDAULATAN RAKYAT MASIH DIBUTUHKAN DI NEGERI INI

APAKAH VISI KEDAULATAN RAKYAT MASIH DIBUTUHKAN DI NEGERI INI
Penulis : Andi Salim

Visi adalah suatu rangkaian kata yang memuat impian, cita-cita, nilai, masa depan dari suatu kumpulan manusia, baik di dalam sebuah lembaga atau apapun. Visi juga merupakan sebuah tujuan untuk mencapai apa yang dicita-citakan dalam melakukan pekerjaan secara bersama-sama. Sedangkan kedaulatan artinya adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat UU dan melaksanakannya. Sehingga, kedaulatan rakyat berarti pemerintah mendapatkan mandatnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jika kita menelaah atas terbentuknya negara sebagai organisasi kekuasaan yang berdaulat dengan sistem pengelolaan pemerintahan dalam melaksanakan tata tertib dari setiap orang-orang di daerah tertentu, dan memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya, sehingga suatu negara juga merupakan otoritas atas wilayah yang memiliki suatu aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, serta berdiri secara independen. 

Maka, Indonesia selaku negara kesatuan yang berbentuk republik ini mutlak memiliki syarat primer sebagai sebuah negara dengan memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat secara sah. Sedangkan syarat sekunder dari itu semua adalah adanya pengakuan dari negara-negara lain, serta tidak perlu lagi mencari-cari pengakuan kredibilitas keberadaannya dari pihak manapun di dunia ini. Dimana, dengan berazaskan sistem demokrasi yang diberlakukannya melalui manifestasi pengakuan kedaulatan rakyat sebagai objektifitas atas cita-cita yang difokuskan bagi segenap tujuan dan harapan warga negaranya seharusnya bisa terwujud. Namun betapa anehnya ketika kekayaan alam bangsa ini justru hanya diperuntukkan bagi segelintir orang saja. Bahkan urunan rakyat dalam bentuk pajak-pajak yang dibayarkan rakyat kepada negara ini disimpangkan, habis dicuri, dicatut, dibajak oleh segelintir kroni penguasa yang tak lagi mengenal rasa malu dan harga diri.

Dari fakta yang ada saat ini, Apalagi dari serangkaian kerugian negara yang semula kasus korupsi berada pada nilai yang terungkap hanya sebatas 1~2 milyar, lalu belakangnya menjadi naik secara signifikan menjadi 10~20 milyar, lantas terus meningkat menjadi 100~200 dan setelahnya seakan tak terbendung, korupsi di Indonesia pun menyentuh angka 1~2 Triliun, selanjutnya seolah-olah tanpa kendali angka tersebut meningkat fantastis hingga mencapai 10 sampai 90 Triliun, dan sekarang terkesan negara tidak lagi kuasa membela dirinya yang tergerus sehingga mudah dikendalikan oleh pemerintah yang acapkali lalai, dimana angka korupsi semakin terlihat unlimited dari aksi bar-barian ini dengan pembuktian mereka yang mampu merugikan negara hingga ratusan triliun pada akhirnya. Adanya KPK, Kejaksaan,  Kepolisian, serta oknum-oknum penegak hukum, seakan-akan tak berkutik dan menjadi tumpul, manakala kasus korupsi tersebut semakin memuncaki klasemen besaran kerugian negara yang dibukukannya. 

Belum lagi masyarakat mempertanyakan peran Inspektorat di setiap kementerian dan lembaga yang sama sekali tidak pernah menampakkan hasil apapun pada setiap temuannya, sedangkan gaji buta yang mereka terima dari pajak rakyat itu hanya menjadi beban APBN setiap tahunnya. Kesemuanya itu pada gilirannya menjadi pertanyaan masyarakat, apakah Sesungguhnya sebutan kedaulatan rakyat itu masih diakui negara atau tidak. Sekiranya pun tidak, maka tidak ada salahnya rakyat mengusulkan agar antara negara dengan rakyatnya berkomitmen untuk pecah kongsi. Sehingga rakyat tidak perlu lagi membayar pajak-pajaknya yang diperuntukkan secara menyimpang oleh pemerintah. Sehingga negara tidak perlu hadir guna menyelamatkan masa depan warga negaranya melalui perwakilan pemerintah yang semestinya mampu dipaksa untuk memberantas korupsi dan penyalah gunakan kewenangan yang mereka pikul dari amanat konstitusi yang disepakati bersama.

Drama murahan atas pertentangan antar rezim dari siapa pun yang memimpin negeri ini, guna mengklaim keberhasilan, sekaligus mengkonfirmasi kepada rakyat untuk mengatakan bahwa pada era kepemimpinannya kondisi bangsa ini lebih baik dan mengalami kemajuan, sesungguhnya hanya berita hoaks bila parameter itu disandingkan dengan keadaan riil dari kenyataan hidup masyarakat pada masanya. Pertikaian politik yang sering dipertontonkan oleh penguasa dengan rivalnya yang berasal dari kelompok oposisi pun acapkali berhasil mengalihkan perhatian rakyat atas kegagalan dari apa yang dirasakan masyarkat sesungguhnya. Jika di era Orde lama masyarakat masih bingung dengan hak-hak dan kewajiban negara terhadap rakyatnya, sehingga dengan mudah negara mengutip ungkapan Jhon F Kenedy yang mengatakan "Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara", maka di era Orde baru justru hal itu direnggut secara otoriter dari pola kepemimpinannya. 

Kenyataan pada masa Era Reformasi sekarang pun tak kalah pahitnya, hak-hak dan kewajiban negara terhadap rakyat itu semakin sirna, hingga tidak lagi bisa dipertanyakan oleh setiap masyarakat saat ini. Banyaknya proyek mangkrak serta kasus-kasus korupsi dan peristiwa fakta kerugian negara seperti Bailout Bank Century senilai 6,7 triliun tahun 2008, kasus BLBI tahun 2003 yang mencatatkan kerugian negara sebanyak 138 triliun, Kasus penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit di Indragiri Hulu yang merugikan negara sebanyak 104 triliun, Kasus kondensat ilegal di kilang minyak Tuban, Jatim senilai 35 triliun, serta kasus bobolnya beberapa asuransi baik Asabri, Jamsostek serta lainnya, termasuk kasus tambang Timah 271 triliun yang mencuat saat ini. Tentu saja menambah luka bathin masyarakat secara mendalam pastinya. Sehingga, menjadi wajar pula jika Program Hilirisasi pemerintah saat ini pun harus dicurigai, jangan sampai malah menjadi sarana konfirmasi untuk melegalkan pemerintah atas diamnya rakyat yang seolah-olah menyetujui untuk menguras kekayaan bangsa ini bagi kepentingan segelintir oknum penguasa saja. 

Semestinya rakyat tidak perlu lagi mendengar iming-iming kesejahteraan. Sebab jargon itu memang selalu dihembuskan, baik saat kekuasaan ORLA dan 32 tahun masa ORBA berkuasa. Bahkan hingga sekarang setelah 26 tahun era reformasi pun, hal itu cuma OMONG KOSONG yang tanpa bisa dibuktikan sama sekali. Permainan index kesejahteraan dan harapan hidup dalam berbagai tabulasi yang di informasikan kepada masyarakat hanya nuansa akal-akalan yang sesungguhnya tidak terkorelasi dengan fakta riil untuk bisa dipegang sebagai kenyataan hidup dari rakyat saat ini. Apalagi mengamati perjalanan kepemimpinan Jokowi yang telah melewati 9 tahun pun nyatanya tidak merubah nasib rakyat sama sekali. Dimana sektor pangan semakin melemah hingga bergantung dengan negara lain, ditambah utang negara yang tampak semakin menggunung, sehingga kebanggaannya hanya terletak pada bagaimana menggunakan APBN dalam skala pembangunan infrastruktur semata, walau rebound investasi kearah itu sampai detik ini pun belum terjadi guna mengembalikan besaran investasi yang telah ditanamkannya.

Pada akhirnya, sikap masyarakat dalam merespon kejahatan korupsi, tentu ada yang tampak marah, namun ada pula yang hampir tidak lagi perduli. Walau Negara dirasakan tidak pernah mampu menekan setiap pemerintahan yang korup, sehingga pada gilirannya masyarakat dibuat pesimis terhadap fakta berlangsungnya demokratisasi dibalik sistem pemilu yang hanya menjadi celah munculnya kejahatan penguasa baru. Bahkan hal itu semakin tampak ketika saat ini harapan pada nilai-nilai good governance atas peran serta masyarakat bagaikan fasilitas tipu muslihat guna melegitimasi aturan main dari setiap kebijakan pemerintah yang sekedar menguntungkan kroni-kroni mereka semata, hingga tidak berfungsinya good government sebagai pedoman pengendalian management tata kelola negara yang memungkinkan hal itu dijalankan sesuai dengan amanat konstitusi yang semestinya dipijak. Masyarakat pun semakin muak dengan perilaku pejabat yang tidak lagi merepresentasikan aspek moralitas berbangsa dan bernegara. 

Kelangsungan pemilu sebagai sarana demokrasi rakyat tidak lagi menjadi cermin terhadap representasi pemikiran, moralitas apalagi terhadap indeks kebahagiaan yang menjadi nilai-nilai yang terdapat didalamnya. Khususnya terhadap aturan netralitas mereka dalam menerapkan pemilu yang berazaskan Jurdil dan Luber, serta batasan-batasan yang layak untuk mereka perhatikan dalam setiap tindakan dan perilakunya selaku petugas negara. Bahkan tak sedikit yang mengkaitkan bahwa pejabat itu setara elektoral yang diraihnya. Toh pada gilirannya, amanat suara rakyat itu akan dikaburkan, disalahgunakan, ditukar guling bagi kepentingan mereka sendiri untuk memperkaya dan membangun legitimasi kekuasaannya, hingga mengakomodir kekuatan tersendiri guna menciptakan dinasti politik bagi kelanggengan kekuasaannya semata. Demi tujuan itu, tak heran jika mereka membagi-bagikan sejumlah uang atau berang yang biasa dikenal dengan sebutan serangan Fajar / Money Politik kepada masyarakat yang seolah-olah menjadi tindakan yang legal pula sekarang ini.
Sourch : https://www.facebook.com/groups/402622497916418/?ref=share
*KotaTangsel.com*